Untuk
menggali dukungan, paslon petahana melakukan kontrak politik dengan masyarakat
Silo. Isinya menolak segala bentuk eksplorasi tambang. Dilakukan guna memenuhi aspirasi
masyarakat. Dengan harapan menciptakan ketenangan masyarakat setempat dari potensi kerusakan lingkungan. Demikian
substansi berita yang selama ini dilansir media. Positif sebagai wujud
sensitifitas paslon terhadap konstituten menyangkut ekologi.
Namun
ternyata secara normatif berdasarkan fakta hukum yang ada, bukan kontrak
sebagaimana kelajiman dalam hukum perdata. Penolakan paslon petahana terhadap
tambang emas dilakukan sepihak. Keduanya sebatas menandatangani komitmen
tertulis untuk menolak tambang emas. Dengan demikian komitmen paslon Hendy
– Gus Firjaun tidak tunduk pada hukum perjanjian yang mengatur perihal
kontrak. Karenanya tidak bisa disebut sebagai kontrak politik mengingat
keberadaan produk yang ditandatangani tidak terpenuhi syarat hukum. Betapa
tidak. Cermati salinan dokumen dari fakta hukum yang telah ditanda-tangani
berikut ini :
SURAT PERNYATAAN
Yang bertanda-tangan
di bawah ini
1.
Nama : H. Hendy Siswanto
Sebagai : Calon
Bupati Jember 2024 -2029
2. Nama :
Gus Firjaun Barlaman
Sebagai : Calon Wakil Bupati Jember
2024 -2029
Menyatakan
dengan sebenarnya di hadapan masyarakat Silo, khususnya masyarakat Desa Pace,
bahwa apabila kami ditakdirkan oleh Allah SWT terpilih sebagai Bupati dan Wakil
Bupati Jember Periode 2024 – 2029, kami akan menolak segala bentuk pertambangan di wilayah
Kecamatan Silo baik secara manual maupun secara teknologi modern.
Demikian
surat pernyataan ini kami buat dengan hati nurani tanpa ada tekanan atau
paksaan dari siapapun dan pihak manapun. Kemudian apabila surat pernyataan ini
kami khianati, kami siap bertanggung jawab di hadapan masyarakat sesuai dengan
aturan yang berlaku.
Demikian.
Wassalamualaikum Wr.Wb.
Ditandatangani
oleh Paslon Petahana pada 30 september 2024 di Desa Pace berikut tiga orang
saksi dari masyarakat setempat.
Berdasarkan fakta hukum di atas dapat dipahami bahwa tidak
ada para pihak dalam produk pernyataan. Hanya paslon yang menuangkan
tanda-tangannya. Sementara tiga orang lainnya sebagai representasi masyarakat
memberikan tanda-tangannya sebagai saksi. Pengertian saksi adalah orang yang
ikut menyaksikan. Tidak mengemban hak dan kewajiban karena statusnya bukan
pihak dalam kontraktual. Bukan prinsipal dalam posisi yang seimbang untuk
bersepakat. Mereka adalah KH. Ahmad Jauhari, KH Farid Mujib, dan KH. Umar
Abdillah. Mengingat ketiganya bukan pihak prinsipal kontraktual, maka Pasal
1320 KUH Perdata tentang syarat sah perjanjian tidak terpenuhi. Jelas bahwa
perbuatan hukum paslon petahana tersebut adalah Pernyataan. Bukan kesepakatan
yang dituangkan dalam Kontraktual (Perjanjian). Bahkan judul perbuatan hukumnya
jelas, tertulis Pernyataan. Sementara
perjanjian atau kontrak politik merupakan kesepakatan dua pihak antara paslon
dengan konstituen.
Pernyataan sebagai komitmen politik
petahana dimaksud populis disebut janji politik paslon. Janji dalam konsep
hukum berbeda dengan perjanjian. Janji politik tidak sama dengan perjanjian
atau kontrak politik. Janji politik merupakan
komitmen sepihak yang dideklarasikan. Tidak mengikat. Bersifat moralitas.
Sanksinya distrust. Berupa cemooh dan
hilang kepercayaan terhadap pelanggar yang telah berjanji. Tidak ada sanksi
hukum. Apalagi dalam narasi komitmen yang telah ditanda-tangani itu tidak ada
satupun klausul konsekuensi sanksi. Narasinya sebatas itikad baik.
Didokumentasikan dalam prosesi di tengah khalayak.
Sekali lagi, pernyataan itu tidak mengikat paslon petahana manakala
inkonsistensi terjadi. Frase…’ siap
bertanggung jawab di hadapan masyarakat sesuai dengan aturan yang berlaku’, adalah
narasi samar karena bentuk tanggungjawab yang dikedepankan tidak memiliki
rumusan yang jelas, tidak konkrit dan tidak berkepastian. Apalagi
pertanggungjawaban itu hendak dilakukan sesuai dengan aturan yang berlaku.
Peraturan perundang-undangan mana yang dimaksudkan ? Subhat. Sedangkan perjanjian menjadi undang-undang bagi para pihak
yang membuatnya sepanjang tidak bertentangan dengan aturan, kesusilaan dan
ketertiban umum.
Janji politik petahana di
Desa Pace Kecamatan Silo soal tambang emas secara hukum sudah tidak memiliki
urgensi lagi. Hal ini dikuatkan dengan legitimasi berdasarkan Keputusan Hukum.
Sebelumnya Pemerintah dan DPRD Jember bersama masyarakat Jember menolak tegas
keberadaan tambang emas di Blok Silo terkait dengan keluarnya Kepmen ESDM Nomor
1802 K/30/MEM/2018, dimana pada Lampiran IV disebutkan tentang wilayah izin
usaha pertambagan khusus Blok Silo Kabupaten Jember untuk mineral jenis emas.
Kini, Kepmen ESDM Nomor
1802 K/30/MEM/2018 telah dicabut melalui Kepmen ESDM No. 23 K/MEM/2019. Pencabutan tersebut
sebagai konsekuensi dari hasil sidang mediasi atas gugatan Pemkab Jember terhadap
terbitnya Kepmen ESDM No. 1802 K/30/MEM/2018. sebagai pelaksanaan atas hasil
penyelesaian sengketa peraturan perundang-undangan melalui jalur non-litigasi
dengan nomor register 31/NL/2018 di lingkungan Kementerian Hukum dan HAM.
Berdasarkan ketentuan hukum di atas maka
tanpa penolakan petahana dalam janji politik itu, Silo bukan lagi wilayah
eksplorasi tambang emas. Janji politik petahana bersifat redundancy hukum yang keberadaannya sama dengan ketidakberadaannya.
Sementara Kepmen ESDM No. 23 K/MEM/2019 bersifat
imperatif. Suka atau tidak, telah menjadi fakta hukum dan memiliki akibat hukum
tanpa intervensi siapapun. Dengan demikian tidak berlebihan jika dikatakan
bahwa Janji Politik petahana untuk menolak tambang hanyalah pepesan kosong yang
digunakan untuk menabur harapan yang sebenarnya harapan masyarakat Silo telah
terpenuhi.
Di sinilah pentingnya advokasi sebagai pendampingan
terhadap masyarakat agar tidak terjerembap dengan janji politik yang
menyesatkan. Otonomi Daerah tidak bersifat State
yang terpisah secara absolut dengan kebijakan pemerintah pusat. Artinya, bisa
saja atas pertimbangan tertentu keputusan hukum yang mensterilkan Jember
sebagai area tambang emas dicabut kembali yang pada gilirannya melibas janji politik paslon petahana. Jangan
lupa, Indonesia menganut supremasi hukum, bukan supremasi politik. Ingat UUD
Negara RI Tahun 1945 – Pasal 33 ayat (3).
*) Penulis
adalah kolumnis, akademisi Fakultas Hukum Universitas Jember, Ketua Dewan Pakar
ICMI Jember dan Mediator Berlisensi Mahkamah Agung